Senin, 24 Oktober 2016

Maraknya Kriminalitas di Kalangan Pemuda

Nama               : Bima Candra Nugroho
Kelas               : 1TA05
NPM               : 11316421
Kriminalitas di Kalangan Pemuda dan Remaja

Kriminalitas atau kejahatan itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan) juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminalitas itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria; dapat berlangsung pada usia anak, dewasa ataupun lanjut umur. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar misalnya, didorong oleh impuls-impuls yang hebat, didera oleh dorongan-dorongan paksaan yang sangat kuat (kompulsi-kompulsi), dan oleh obsesi-obsesi. Kejahatan bisa juga dilakukan secara tidak sadar sama sekali. Misalnya, karena terppaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa membalas menyerang, sehingga terjadi peristiwa pembunuhan. (Kartini Kartono, 2005:139)

Salah satu problem pokok yang dihadapi oleh kota besar, dan kota-kota lainnya tanpa menutup kemungkinan terjadi di pedesaan, adalah kriminalitas di kalangan remaja. Dalam berbagai acara liputan kriminal di televisi misalnya, hampir setiap hari selalu ada berita mengenai tindak kriminalitas di kalangan remaja. Hal ini cukup meresahkan, dan fenomena ini terus berkembang di masyarakat. 

Tentu saja tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi, mulai dari tawuran antarsekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Tindak kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja dianggap kian meresahkan publik. Tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak lagi terkendali, dan dalam beberapa aspek sudah terorganisir. Hal ini bahkan diperparah dengan tidak mampunya institusi sekolah dan kepolisian untuk mengurangi angka kriminalitas di kalangan remaja tersebut. 

Generasi muda harusnya berperan positif membangun daerah. Sangat disayangkan jika pelaku tindak kriminal paling banyak adalah pemuda itu sendiri. Pemuda penerus bangsa kiranya menjadi garda terdepan menujang stabilitas keamanan. Tapi sejumlah kasus yang akhir – akhir ini pelakunya banyak dari kalangan remaja hingga pemuda.

Sebut saja kasus pembunuhan anak dan ayah di jajaran Polsek Bojonggede, Polres Depok, yang dilakukan seorang remaja lelaki tetangganya. Juga, baru-baru ini, oknum guru SD negeri di Beji diduga mencabuli murid-muridnya. Selanjutnya seorang balita tewas dianiaya ibu tirinya di Kampung Jatijajar, Tapos. Disusul, awal bulan ini, bocah perempuan yang masih duduk di kelas 1 SD dicabuli oleh seorang tukang ojek di atas motor. Pekan terakhir seorang siswa SMP yang memilih gantung diri karena takut tidak lulus Ujian Nasional (UN).

Hal ini membuat geram sejumlah kalangan. Mulai tokoh pemuda Depok, Pradi Supriatna, praktisi hukum Rinaldi Rais, dan aktivis anak Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak.  “Fenomena pencabulan dan kasus anak yang marak harus segera dicarikan solusi bersama,” kata Pradi.” Kami, para tokoh muda bersama tokoh agama mengajak pemerintah dan kepolisian  untuk membuat gerakan spiritual dan moral berupa pembinaan mental rohani kepada anak usia sekolah. Kami masih mencari formulanya untuk diterapkan.”

Hal senada diungkap Rinaldi Rais. Katanya, keterlibatan anak dalam dunia criminal baik sebagai pelaku maupun korban harus dipahami sebagai “korban” kebijakan orang dewasa. Sehingga, solusi pun perlu duduk bersama antarsemua kalangan terutama kaitan dengan kurikulum pendidikan di sekolah khususnya. “Soal kriminal memang soal hukum atau pidana, tetapi hukuman penjara bukan solusi tepat mengatasi kriminalisasi anak-anak. Jadi, solusinya harus ada kemauan politik pemerintah dan digarap secara terintegrasi antarsemua stakeholder terkait baik dunia pendidikan, agama. Hukum dll.”
Melihat fenomena sepanjang tahun ini atau bahkan tahun-tahun sebelumnya, marak sekali terjadinya perilaku menyimpang para pelajar. Diantaranya merokok, pemakai obat terlarang, minum alkohol, seks bebas, pornoaksi, dan kriminalitas. Kenaikan tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh pelajar menjadi top issue dunia pengajaran dan pendidikan sampai hari ini.
Aksi tawuran antar pelajar Sekolah Menengah seringkali menghiasi berbagai media nusantara, termasuk juga aksi tawuran suporter sepakbola yang aktornya tidak lain adalah pelajar. Dalam berbagai aksinya, mereka tak segan untuk saling bacok sampai mati. Bulan September lalu masih dapat kita ingat tragedi tawuran pelajar dengan wartawan. Terlepas dari apa alasan dan latar belakang tragedi tersebut, perlu kita telaah mengapa hal itu seakan-akan menjadi hal yang harus mereka lakukan sebelum memasuki masa yang disebut dewasa.
Jelas bahwa tawuran pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari tawuran pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. 
Pertanyaannya adalah kenapa mayoritas tindakan kriminal yang baru – baru ini terjadi pelakunya kebanyakan dari kalangan pemuda / pelajara ? Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab kenapa hal ini dapat terjadi.


Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak.  Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Kekerasan yang marak terjadi di kalangan pelajar khususnya untuk pelajar sekolah menengah tak lepas dari peranan orang tua, guru, serta keadaan lingkungan sekitar yang mendukung terjadinya kekerasan atau tindakan-tindakan menyimpang yang banyak terjadi di dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan tindakan khusus untuk mencegah agar hal ini dapat terhentikan.
Upaya preventif (pencegahan) hendaknya dilakukan di tiga kutub (kutub keluarga, kutub sekolah dan kutub masyarakat/sosial).
1. Di rumah/keluarga
Hendaknya semua orang tua mampu menciptakan kondisi keluarga/rumah tangga yang kondusif bagi perkembangan sehat anak/remaja, dan kriteria keluarga sehat adalah:
• Kehidupan beragama dalam keluarga
• Mempunyai waktu bersama dalam keluarga
• Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
• Saling menghargai antar anggota keluarga
• Mampu menjaga kesatuan dan keutuhan keluarga
• Mempnyai kemampuan untuk menyelesaikan krisis keluarga secara positif dan konstruktif

2. Di sekolah
Hendaknya pengelola sekolah mampu menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi proses belajar mengajar anak didik. Kondisi sekolah yang kondusif bagi proses belajar mengajar diantaranya:
• Sarana dan prasarana sekolah yang memadai
• Kuantitas dan kualitas guru yang memadai, mengembalikan wibawa guru
• Kuantitas dan kualitas tenaga non guru yang memadai
• Kesejahteraan guru (kondisi sosial-ekonomi guru) perlu diperbaiki, tugas rangkap guru antar sekolah sebaiknya dihindarkan
• Kurikulum sekolah yang terlalu padat/banyak dan kurang relevan hendaknya ditinjau kembali. Di sekolah bukan semata-mata perkembangan mental-intelektual (kognitif) anak didik yang diutamakan, melainkan juga perkembangan mental-emosional dan mental-sosial jangan sampai tidak diperhatikan.
• Lokasi sekolah hendaknya tidak berada di daerah rawan, jauh dari daerah perbelanjaan, pusat-pusat hiburan/keramaian.
3. Di masyarakat/lingkungan sosial
Hendaknya para pamong, aparat kamtibmas, tokoh/pemuka masyarakat mampu menciptakan kondisi lingkungan hidup yang bebas dari rasa takut, aman dan tentram, bebas dari segala bentuk kerawanan, misalnya:
• Tempat pemukiman tidak bercampur dengan pusat-pusat perbelanjaan, hiburan dan sebangsanya.
• Tempat pemukiman bebas wts
• Tempat pemukiman bebas dari tempat-tempat penjualan/peredaran alkohol, narkotika, dan obat-obat terlarang lainnya (drug fre environment)
• Tempat pemukiman hendaknya bebas polusi, tidak kumuh dan tidak padat
• Tempat pemukiman bebas dari anak-anak jalanan, pengangguran dan bergadang hingga larut malam, mabuk-mabukan dan tindak menyimpang lainnya yang dapat mengganggu lingkungan.
• Tempat pemkiman tidak terlalu mencolok satu dengan yang lain agar kesenjangan sosial dihindari.

Selain itu, peran pemerintah juga tidak kalah penting dalam mencegah aksi krminalitas dikalangan pemuda ini. Karena pada dasarnya, pemuda merupakan penerus dari bangsa ini. Jika pemuda yang dimiliki bangsa ini jauh dari kata layak untuk dikatakan sebagai penerus bangsa ini, bagaimana nasib dari bangsa ini kedepannya. Karena itu, pemerintah harusnya lebih memperhatikan para pemuda dan mengayomi mereka sebagai penerus dari bangsa ini.
Dan juga kita sebagai generasi muda harus memupuk nilai-nilai dan norma-norma kepribadian Indonesia. Kita juga harus dapat memilah lingkungan mana yang tidak sehat dan lingkungan mana yang sehat buat kita. Dan kita harus bisa berpikir jauh lebih kedepan untuk kebaikan kita sendiri. Tidak hanya berpikir pendek untuk kepentingan sesaat saja. Karena pada akhirnya akan timbul suatu penyesalan yang tidak dapat kita perbaiki jika kita hanya berpikiran pendek untuk kepentingan sesaat saja. Dan yang paling penting adalah kita harus memikirkan masa depan kita, bukan hanya kepentingan sesaat untuk memenuhi ego sesaat saja.






1 komentar:


EmoticonEmoticon